Sering kali, ketika aku mendengar kalimat, belajarlah merespon, bukan bereaksi, yang muncul di otakku adalah event-event dengan pengalaman yang tidak menyenangkan dan mostly rasaku, related to anger.
Di kelas MBCT, aku baru tahu kalau saja reaksi itu terjadi untuk event yang menyenangkan juga, jadi tentu saja kita harus belajar merespon. Sejak mendengar hal itu, aku mulai mencoba mengamati, apa sih reaksi dari happy itu?
Belakangan, aku melihat, ketika aku menyukai sesuatu/momen/seseorang, reaksi ku langsung ingin memiliki, ingin menggenggam, ingin dekat, ingin melindungi, ga ingin diambil orang dan lain-lain. Dan efeknya adalah, langsung muncul kekhawatiran kalau apa yang aku suka tidak dapat kumiliki. Kalau momen, takut momen indah ini hilang/berakhir. Kalau dalam contoh kasus manusia, langsung muncul perasaan cemburu, takut yang kita sukai diambil orang. Sungguh menarik sekali fenomena ini. Hanya dari persepsi "suka" dari pihak ku, rentetan fenomenanya langsung panjang. Dari sisi perasaan, senang tapi di belakang rasa senang itu, banyak beban yang dibawa. Disitulah suffering itu muncul.
Kompleks sekaligus ngeri sekali. Padahal ya, yang aku sukai itu belum tentu seperti yang aku bayangkan. Pernahkan misalnya saat liat makanan, rasanya pengen banget, tapi begitu beneran dimakan, rasanya biasa aza, bahkan mungkin tidak dinikmati. Tapi hanya konsep abstrak - persepsi suka - udah membangkitkan naga emosi, mengaduk-ngaduk batin.
Lantas, apa yang aku lakukan?
Untungnya aku udah dapat byk tips utk berteman dengan diri sendiri, sekedar dibersamai. Aku mencoba duduk bersama semua gejolak batin itu, roller coaster emosi akan sebuah ide. Tidak berusaha juga untuk berpikir dan merasionalisasi. Sekedar membersamai sensasi tubuh.
Setelah melalui proses ini, apa yang berubah?
Rasa suka itu tetap ada, bahkan at a slightly deeper level, tapi clinging nya sendiri yang melonggar. Cengkeraman di lepas pelan-pelan. Rasa bahagia karena menyukai sesuatu tetap disana, tapi segala kekhawatiran dan ketakutan yang menunggang di belakangnya bisa diletakkan. Feeling content.
Dari pengalaman, kalo di state "reaksi" itu, rasanya excited banget, menggebu-gebu, deg-deg an, tetapi begitu terganggu/terjadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, dari posisi sangat happy, bisa langsung nangis bombay. Acak adut.
Tapi ketika sudah didudukkan bersama reaksi, ketika goncangan datang, batin tidak terlalu terganggu. Sedih tetap ada, tapi ga sampai nangis bombay. Sebaliknya juga, ketika yang disukai itu merespon dengan positif, ada rasa senang, tapi juga tidak yang overwhelming. Merespon sesuai dengan sebab dan kondisi. Lebih at ease, tanpa beban.
Contoh kasus, ponakan sedang berkunjung dan kehadirannya membawakan kebahagiaan yang begitu melegakan, apalagi di suasana pandemic yang udah terkurung sekian lama. Happy banget dia disini, tapi karena kuliah sudah dimulai, akhirnya tiba saatnya mengantarnya ke bandara. Biasanya setelah drop dia, aku pasti menangis, yang kadang bisa lumayan heboh. Kangen, pengen momen happy ini terus berlangsung, pengen keep her nearby.
Tapi kali ini, kulepas dia dengan tanpa beban. Causes dan condition mengharuskan kami berpisah, yah direlakan aza.
Tanpa beban ini bukan denial, bukan juga usaha menghibur diri karena ga mendapatkan. Hanya sesuai sebab kondisi saja. Batin tetap feel content, light, at ease.
Akhirnya, dari pengalaman ini, aku baru mengerti, apa yang dimaksud oleh lagu, no coming no going di bagian:
Catatan ini ditulis untuk pengingat bagi diri sendiri. Ingat bahwa segala fenomena adalah tidak kekal. Pengalaman ini juga meyakinkan ku utk terus membaca 4 great vows, terutama related ke poin ke dua,
I vow to cut off endless vexations.
Terima kasih alam semesta yang telah mematangkan semua sebab dan kondisi hingga pengalaman ini terjadi.
Deep bow in gratitude..
Newark, DE, Aug 18, 2020.