Tuesday, August 18, 2020

Reaction and Response

Sering kali, ketika aku mendengar kalimat, belajarlah merespon, bukan bereaksi, yang muncul di otakku adalah event-event dengan pengalaman yang tidak menyenangkan dan mostly rasaku, related to anger. 

Di kelas MBCT, aku baru tahu kalau saja reaksi itu terjadi untuk event yang menyenangkan juga, jadi tentu saja kita harus belajar merespon. Sejak mendengar hal itu, aku mulai mencoba mengamati, apa sih reaksi dari happy itu?

Belakangan, aku melihat, ketika aku menyukai sesuatu/momen/seseorang, reaksi ku langsung ingin memiliki, ingin menggenggam, ingin dekat,  ingin melindungi, ga ingin diambil orang dan lain-lain. Dan efeknya adalah, langsung muncul kekhawatiran kalau apa yang aku suka tidak dapat kumiliki. Kalau momen, takut momen indah ini hilang/berakhir. Kalau dalam contoh kasus manusia, langsung muncul perasaan cemburu, takut yang kita sukai diambil orang. Sungguh menarik sekali fenomena ini. Hanya dari persepsi "suka" dari pihak ku, rentetan fenomenanya langsung panjang. Dari sisi perasaan, senang tapi di belakang rasa senang itu, banyak beban yang dibawa. Disitulah suffering itu muncul. 

Kompleks sekaligus ngeri sekali. Padahal ya, yang aku sukai itu belum tentu seperti yang aku bayangkan. Pernahkan misalnya saat liat makanan, rasanya pengen banget, tapi begitu beneran dimakan, rasanya biasa aza, bahkan mungkin tidak dinikmati. Tapi hanya konsep abstrak - persepsi suka - udah membangkitkan naga emosi, mengaduk-ngaduk batin. 

Lantas, apa yang aku lakukan? 

Untungnya aku udah dapat byk tips utk berteman dengan diri sendiri, sekedar dibersamai. Aku mencoba duduk bersama semua gejolak batin itu, roller coaster emosi akan sebuah ide. Tidak berusaha juga untuk berpikir dan merasionalisasi. Sekedar membersamai sensasi tubuh. 

Setelah melalui proses ini, apa yang berubah?

Rasa suka itu tetap ada, bahkan at a slightly deeper level, tapi clinging nya sendiri yang melonggar. Cengkeraman di lepas pelan-pelan. Rasa bahagia karena menyukai sesuatu tetap disana, tapi segala kekhawatiran dan ketakutan yang menunggang di belakangnya bisa diletakkan. Feeling content. 

Dari pengalaman, kalo di state "reaksi" itu, rasanya excited banget, menggebu-gebu, deg-deg an, tetapi begitu terganggu/terjadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, dari posisi sangat happy, bisa langsung nangis bombay. Acak adut. 

Tapi ketika sudah didudukkan bersama reaksi, ketika goncangan datang, batin tidak terlalu terganggu. Sedih tetap ada, tapi ga sampai nangis bombay. Sebaliknya juga, ketika yang disukai itu merespon dengan positif, ada rasa senang, tapi juga tidak yang overwhelming. Merespon sesuai dengan sebab dan kondisi. Lebih at ease, tanpa beban. 

Contoh kasus, ponakan sedang berkunjung dan kehadirannya membawakan kebahagiaan yang begitu melegakan, apalagi di suasana pandemic yang udah terkurung sekian lama. Happy banget dia disini, tapi karena kuliah sudah dimulai, akhirnya tiba saatnya mengantarnya ke bandara. Biasanya setelah drop dia, aku pasti menangis, yang kadang bisa lumayan heboh. Kangen, pengen momen happy ini terus berlangsung, pengen keep her nearby. 

Tapi kali ini, kulepas dia dengan tanpa beban. Causes dan condition mengharuskan kami berpisah, yah direlakan aza. 

Tanpa beban ini bukan denial, bukan juga usaha menghibur diri karena ga mendapatkan. Hanya sesuai sebab kondisi saja. Batin tetap feel content, light, at ease.

Akhirnya, dari pengalaman ini, aku baru mengerti, apa yang dimaksud oleh lagu, no coming no going di bagian: 

I hold you close to me, 
I release you to be so free.

Catatan ini ditulis untuk pengingat bagi diri sendiri. Ingat bahwa segala fenomena adalah tidak kekal. Pengalaman ini juga meyakinkan ku utk terus membaca 4 great vows, terutama related ke poin ke dua, 

I vow to cut off endless vexations. 

Terima kasih alam semesta yang telah mematangkan semua sebab dan kondisi hingga pengalaman ini terjadi. 

Deep bow in gratitude.. 

Newark, DE, Aug 18, 2020. 

Tuesday, September 23, 2014

Catatan Sitting: Energi Jealousy yang Mengerikan

Hari ini, dalam sit pagi ku, muncul sebuah perasaan yang tidak mengenakkan.. Yah.. it's jealousy. Well, dalam kesadaranku yang redup-redup itu, aku melihat, betapa jealousy itu sungguh mengerikan, ia bisa membangkitkan kemarahan dan kebencian yang luar biasa. Jealousy menurutku ada 2 hal, iri dan cemburu.

Dalam hal cemburu, aku punya seorang teman dekat dan dia punya seorang teman dekat. Ntah kenapa, aku bisa begitu jealous dengan teman dekatnya ini, padahal, mereka juga jarang komunikasi, ketemuan juga sebulan ato dua bulan sekali dan itu pun hanya 2-3 jam. Aku malah ketemu temanku hampir tiap hari.

Aneh nya lagi, teman dekat ku ini juga bukan cowo ku, bukan pula seseorang yang mau kumiliki untuk masa depan. Kami dua manusia yang sungguh berbeda, yang kalo ketemu hanya untuk berperang saja.

Ntah sumbernya dari mana, tapi jealousy ini terasa begitu kuat. Tapi yang jelas, teman dekat nya itu begitu cantik :).

Cemburu itu buta?
Dalam pengamatanku, cemburu itu tidak buta, tapi malah cenderung membutakan.
Aku sangat yakin, pasti ada sesuatu yang mendasari seseorang untuk cemburu, mungkin hanya tidak disadari, jadi berkesan buta. Aku sendiri melihat 2 hal dibalik cemburu:
1. Orang di seberang sana memiliki sesuatu yang seseorang inginkan tapi belum ia dapatkan.
Level iri/cemburu itu tergantung seberapa besar hal yang seseorang inginkan. Jika itu sangat krusial (menurut yang bersangkutan), maka jealousy ini bisa sangat kuat. Semakin krusial, semakin jealouslah orang ini.

2. Ketidakpercayaan diri.
Meskipun seseorang sudah memiliki apa yang dia punya, tidak berarti jealousy ini akan hilang. Kalo orang tersebut tidak percaya diri, jealousy ini justru akan lebih mengerikan setelah memiliki apa yang ia inginkan. Ia akan ketakutan setiap hari, menjaga apa yang sudah digenggamnya dan tidak akan membiarkan seorang pun menyentuhnya.

Nah, disinilah mengerikannya. Ketidakpercayaan diri tersebut memicu pelbagai macam persepsi negatif. Contoh paling simple, cemburu pada pasangan. Pasangan sudah punya kita, toh? Karena ketidakpercayaan diri, kita mencurigai semua manusia sejenis kita yang dekat dengan pasangan kita. Orang lewat sekedar say Hi pun mungkin bisa membuat kita emosi.

Inilah yang kusebut dengan cemburu yang membutakan. Orang menjadi berpegang teguh pada setiap persepsi negatif yang ia miliki terhadap orang lain, sehingga tidak muncul rasa percaya pada orang lain, bahkan terhadap pasangan sendiri. Yang ada hanya rasa curiga dan tidak aman. Padahal, yang namanya persepsi itu kan tidak selamanya benar, itu hanya apa yang seseorang liat dari sisinya.

Tapi dari secercah insight pagi ini, aku jadi mengerti perasaan temanku. Aku jadi mengerti, mengapa dia bisa begitu emosi/membenciku, saat aku menyapa pasangannya. Aku dulu tidak mengerti kenapa dia begitu, toh aku tak ngapa-ngapain pasangannya. Memang ketika diliputi jealousy, people can't see clearly. Logic just doesn't work. Meskipun dunia damai aman di luar sana, hati tetap merasa ada yang tak beres. Tapi kurasa dua alasan ku di atas bukan sesuatu yang mendasari jealousy nya..

Cemburu juga membutakan pertemanan. Seseorang bisa lupa kalo ia dan kita adalah teman.

Mengatasnamakan keadilan untuk membenarkan jealousy kita. 

Point ini aku sadari saat pulang ke Singkawang dan sembahyang di kuil "Guan Gong", yang bagiku adalah Dewa Keadilan. Ketika memegang dupa dan menghadap altar, tiba-tiba aku menyadari satu hal, aku mungkin sering mengatasnamakan keadilan, untuk membenarkan jealousy ku.

Aku sibuk berteriak di luar sana, bahwa ketidakadilan sedang terjadi. Tapi setelah kugali lebih dalam, apa motivasi ku berkoar-koar? Apakah aku benar-benar peduli dengan keadilan?

Haha.. Setelah kutelaah lebih lanjut, aku hanya iri. I am just jealous. Sebagian besar motivasi ku, adalah karena si jealousy itu.

Jadi, ketika kita merasa ingin berteriak tentang ketidakadilan di luar sana, balik dan bertanyalah pada diri kita sendiri, apa motivasi kita sebenarnya? Jangan sampai kita malah mengatasnamakan keadilan untuk membenarkan jealousy kita.

Aku tidak tahu apakah membela keadilan dengan motivasi jealousy adalah sesuatu yang benar, meskipun tindakan luar nya dalam bentuk yang sama, tapi bukankah niat itu yang paling utama?

Well, dari semua pemikiran tentang si jealousy, aku tetap belum menemukan solusi bagaimana mengatasi jealousy. Haha. Energi ini sungguh aneh. Aku lebih bisa mengatasi anger (karena kudeteksi ini sudah dari zaman bahela), tapi belum dengan jealousy.

Ada sebuah postingan di facebook, tentang seseorang menemui Sang Buddha dan berkata, "I want happiness". Dan Buddha menjawab, buanglah I (ego), buanglah want (desires), maka yang kamu punya adalah happinesss.

Secara teori, ini adalah solusinya. Ketika tak punya I, tak ada lagi milikku, bagaimana kita bisa iri lagi?
Ketika tak punya want, maka kita pun tidak mungkin tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, karena kita tidak menginginkan apa-apa juga.

Prakteknya?

...
Masih jauuuuuuuuuuuuuuh.. Nyoook mareeee..

Semoga semua makhluk terbebas dari jealousy, semua makhluk dapat bersyukur atas apa yang sudah dimiliki..

Dalam redup-redup kesadaran...
Waratah West, 24 September 2014


Monday, June 17, 2013

Terima Kasih Thay..

Semakin hari aku menjalani hidupku, semakin aku merasa betapa beruntungnya diriku memiliki kesempatan bertemu praktek, salah satunya bertemu dengan tulisan Thay. Terima kasih yang mendalam kepada ciciku yang mengenalkan tulisan Thay kepadaku dan terima kasih kepada Ko Jimmy Lominto..

Setiap kali aku membaca tulisan Thay, aku seperti dipeluk, aku merasa aman, aku merasa terlindungi, aku merasa hangat dan aku merasa yakin untuk kembali terus melangkah. Ketika hidup dipenuhi kegalauan, tulisan Thay sungguh menyejukkan. Ketika sesuatu tak berjalan lancar, alih-alih berakhir membenci diri, aku belajar untuk melihat kekurangan dalam diriku dan aku belajar menerima diri. Mengenali energi kebiasaan di dalam diri dan bertekad untuk bertransformasi. Tentu saja aku tidak boleh menggunakan ini semua untuk pembenaran diri di setiap kesalahan ku. Hanya saja, membenci diri sendiri juga bukan solusi yang tepat. 

Dulu saat pertama kali mengambil latihan perhatian penuh di retret Thay di Jakarta, aku hanya mengambil latihan ke empat, "Cara bicara yang penuh cinta kasih". Itu karena aku tukang nyolot, jadi teman-teman "mendesak" ku untuk mengambil sila itu. 

Setelah mengambil sila itu, yang perlu kulakukan adalah membacanya setiap hari. Aku awalnya cukup meragukan apakah itu akan bermanfaat atau tidak. Nyolot sudah menjadi bagian dari diriku yang mungkin akan susah diubah. Awalnya, aku tidak merasakan apa-apa. Hingga suatu hari, saat aku nyolot, sepotong kalimat dari sila itu muncul di pikiranku "knowing that words can bring suffering or happiness". Tiba-tiba aku terdiam dan terpukau, kalimat itu tidak lagi keluar dari mulutku. Ternyata hanya membaca ulang latihan perhatian penuh membantu meningkatkan awareness ku. Tentu saja aku belum mahir urusan ini, tapi aku mendapatkan "alat" untuk "menjinakkan" mulutku. Nyolotku masih tetap, tapi udah lebih berkesadaran. Hahaha. Kata-kata yang dipakai juga lebih selektif..

Latihan keempat ini juga mengajarkan ku untuk mendengar secara mendalam. Dan ternyata bagian ini jauh lebih susah. Mengerem mulut untuk tidak memotong atau menyolot itu sudah tidak gampang. Sekalipun  berhasil, mulut tidak menyuarakan, di otakku selalu penuh skenario. Sister Chan Kong juga berpesan padaku untuk berlatih mendengar. Haha. Kuping jangan hanya sekedar pangsit..

Thay mengajarkan begitu banyak panduan praktikal dalam hidup, bagaimana berhadapan dengan masalah yang muncul dalam interaksi dengan manusia. Beberapa poin yang benar-benar sudah sangat membantu ku adalah: 

1. Persepsi
Semua hal yang terjadi di dunia itu hanya kita pahami melalui persepsi kita. Persepsi ini dipengaruhi oleh latar belakang kita, pengetahuan, pengalaman dan bahkan suasana hati kita. Jika satu hal terjadi di depan 5 orang, mungkin bisa menghasilkan cerita yang berbeda, tergantung dari sisi mana orang-orang tersebut menilainya dan latar belakang orang-orang tersebut. Oleh karena kebenaran persepsi yang sungguh relatif, persepsi bukanlah suatu pegangan yang kokoh. Kita tidak boleh terlalu meyakini persepsi kita. 

Perbedaan persepsi inilah yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman. Orang lain melakukan dengan niat baik, tapi bisa saja kita memahaminya sebagai sesuatu yang buruk. Jadi, untuk mengatasi hal ini, dianjurkan komunikasi. Thay juga mengajarkan cara "Beginning a New", suatu cara untuk menyelesaikan konflik/kesalahpahaman. 

Cara ini sungguh melegakan kalo bisa dilakukan. Sayangnya, aku bukan tipe orang yang ekspresif untuk urusan serius. Kalo ngalor ngidul aku jago berkicau, tapi kalo urusan serius, lebih sering kupendam. Paling maksimal kutulis biasanya. Dan karena tulisan itu ga bernada, jadi lebih bahaya kalo kusodorkan itu untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Bisa jadi lingkaran setan ga berujung. Memendam terus menerus tak sehat juga, karena aku sebenarnya tak menyelesaikan masalah itu. Aku hanya menebak-nebak. Tapi untuk mengkomunikasikannya butuh kekuatan luar biasa. Aku kadang berniat mencoba nya, tapi begitu ketemu pihak lain, aku kehilangan kata-kata. 

Belakangan ini, aku berhasil mencobanya (baca: baru habis berantem). Intinya 5 menit, tapi butuh pemanasan berjam-jam, sampai pembicaraan nyampe ke topiknya. Tapi benar saja, setelah itu kulakukan, hati ini berhenti menerka-nerka, semua menjadi lebih jelas. Lega sekali rasanya. Seperti sebuah pembebasan batin. Apa yang kupersepsi kan ternyata beda banget dengan apa yang sesungguhnya terjadi.. 

2. Understanding and No Judgement
Setelah tahu bahwa persepsi masing-masing orang berbeda, aku belajar untuk tidak menghakimi orang dengan apa yang ku persepsikan, karena bisa jadi aku salah. Aku belajar untuk mencoba melihat latar belakang mereka dan mencoba memahami mengapa mereka melakukan hal seperti itu. Kadang terlihat logika yang sangat jelas setelah kita mencoba melihat dari sisi mereka (meskipun kita tak bisa benar-benar sepenuhnya melihat dari kacamata mereka). Kalo kita di posisi dia pun, kita akan begitu. 

Jika itu memang sesuatu yang tak baik dan kita melihat faktor yang membuatnya begitu, tidak hanya kita lebih mudah untuk tidak marah, tetapi kita menjadi lebih bersimpati. Dan jika sifat itu tidak ada di diri kita, kita juga menjadi bersyukur karena kita beruntung tumbuh dalam kondisi yang lebih baik, dijauhkan dari hal tersebut. 

3. Forgiveness and Acceptance
Dengan lebih pengertian, akan lebih mudah untuk memaafkan "kesalahan" orang lain. Kita juga menjadi tidak terlalu menuntut orang lain untuk seperti kita dan belajar menerima orang lain apa adanya. Setelah kita terima mereka apa adanya, akan berkurang konflik dalam batin kita.. 

Aku menulis ini bukan karena aku sudah bisa melakukannya dengan baik. Aku hanya sudah pernah mencobanya sekali dan merasakan manfaatnya. Dalam kasus ini mungkin aku berhasil, tapi tidak berarti hati ku cukup lapang untuk kasus yang lain. 

Aku bertekad untuk terus berlatih dan terus bertransformasi demi manfaat semua makhluk.. Terima kasih kepada Buddha Dharma, semua sebab dan kondisi, semua guru spiritual, semua makhluk dan alam semesta atas kesempatan mengenal ajaran dan mencoba mempraktekkannya. 

Deep bow in gratitude..

Saturday, March 2, 2013

Budidaya Menulis Email



Pagi ini, aku menerima sebuah email dari seorang teman nun jauh disana. Membaca emailnya yang panjang, membuatku senang sekali, sekaligus merindukan masa lalu, dimana aku sering sekali menerima email panjang dari teman-teman. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, fasilitas “pesan pendek”  sudah jauh lebih maju. Sejak kemunculan Facebook, dimana kita bisa memasang pesan di dinding teman (haha. sok baku bahasaku), email sudah mulai ditinggalkan sebagian besar orang. Orang-orang cenderung mengirimkan pesan pendek lewat FB (nama pendek si Facebook), ataupun hanya sekedar menulis di dinding. Komunikasi pun menjadi sepotong-potong yang pendek. Kemudian, jika berkenalan dengan orang baru, yang ditanya bukan lagi nomor hp atau email, tapi minta akun Facebooknya.

Tak lama setelah teknologi Facebook/Twitter (yang sampai sekarang aku tak ngerti cara pakainya), muncul lagi “telepon-telepon pintar” yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan lebih cepat dan lebih murah. Orang-orang bisa chat melalui BBM, Whatsapp, Tango, MiTalk, Line dan sebagainya yang harganya sudah termasuk dalam paket internet. Tidak ada tambahan biaya selama paket internet masih berlaku.  Dulu, pesan pendek hanya dilakukan melalui SMS, dengan biaya 350 rupiah per SMS, sehingga untuk SMS pun disusun rapi dalam budget dan terbatas. Email pun ditinggalkan lebih jauh lagi oleh masyarakat. Nah, sekarang ini, jika berkenalan dengan orang baru, yang ditanya bukan lagi akun Facebook, tapi PIN BB ataupun whatsapp.

Satu sisi, teknologi memang membantu mempercepat komunikasi antar manusia. Tapi disisi lain, menurut pendapatku, komunikasi pendek membuat orang-orang tidak lagi terbiasa mengekspresikan diri/perasaan/pendapat melalui tulisan panjang. Tulisan-tulisan pendek, yang kadang tidak menyampaikan konteks utuh, acapkali menimbulkan kesalahpahaman, karena pesan yang utuh menjadi terpotong-potong. Belum lagi waktu penyampaian kadang terhambat oleh kendala kecepatan internet. Potongan pesan antara pengirim dan penerima saling tumpang tindih sehingga mempersulit pemahaman isi pesan.

Tentu saja, aku tidak menyalahkan teknologi tersebut. Hanya saja, kemunculan fasilitas komunikasi pendek itu, membuat ku sangat amat jarang menerima email-email panjang. Aku sendiri sangat menyukai membaca email panjang, karena isinya sangat menyejukkan. Setidaknya, aku tahu, sang pengirim email itu pasti sudah meluangkan waktu untuk menulis setiap email itu. Email panjang (menurutku) lebih dapat menggambarkan suasana hati/ide/sifat sang penulis. Dan email panjang mewakilkan niatnya saat menulis. Email jauh lebih ekspresif dibandingkan pesan-pesan pendek. Aku bisa mengikuti alur cerita emailnya, sehingga lebih bisa membayangkan kira-kira seperti apa hidupnya disana. Memang email ada kekurangannya juga, karena penulis harus meluangkan waktu, sehingga sulit dilakukan jika dipenuhi dengan segala macam kesibukan.

Aku merindukan email-email panjang untuk dibaca.. Merindukan cerita teman-teman, tentang kehidupan mereka dimanapun mereka berada. Aku selalu merasa begitu gembira, jika mendapatkan email teman masuk ke inbox ku. Melalui pesan pendek, biasanya aku hanya mendapatkan informasi dari pertanyaan, “apa kabar?” (yang selalu dijawab dengan “baik”) dan “lagi ngapain?” (yang biasanya tidak memberikan banyak informasi)

Kuakui, belakangan pun, aku sudah sangat jarang menulis email panjang. Aku sangat ingin melakukannya, tapi jadwal yang padat, membuatku tak sempat duduk untuk menulis email. Aku perlu mood yang pas untuk menulis, dan di saat kelelahan, mood itu susah dibangkitkan.

Pepatah mengatakan, tidak ada asap tanpa api. Aku tahu, aku tidak bisa menuntut orang-orang di luar untuk melakukannya, aku hanya bisa mengajak saja. Dan mungkin aku harus memulai dari diriku sendiri, membudidayakan menulis email, supaya budaya menulis email ini tidak hilang. Aku harus mulai menyempatkan diri menuliskan email-email panjang ke teman-teman, supaya (semoga) mendapatkan juga balasan dengan email panjang.

Dalam kerinduan menulis,
Jakarta, 2 Maret 2013

Tuesday, February 19, 2013

Pesan Kotak Pensil dalam Tas



Suatu hari, aku bersiap-siap untuk berangkat ke suatu tempat (aku tak ingat dari mana hendak kemana). Aku merapikan tasku, kudata kelengkapan barang-barangku. Ada kotak pensil, buku, baju, jaket, botol minum dll. Tas ku super padat pokoknya. Kususun sedemikian sehingga botol minumku dapat tetap tegak dan airku tidak tumpah. Tas ku dalam keadaan full. 

Saat aku memakai tas itu dan melangkah keluar, tiba-tiba terdengar bunyi pulpen bergerak di dalam kotak pensilku, seiring dengan ayunan tasku. Saat itu, tiba-tiba terpikir: 

Jika kotak pensil dianggap sebagai aku dan barang-barang di luar mungkin bisa diibaratkan tekanan dari pihak luar (dalam bentuk apapun). Maka, bunyi pulpen itu seolah-olah memberitahuku, "dunia luar boleh saja menekanmu dengan luar biasa, tanpa memberimu celah atau ruang, tetapi asalkan di dalam dirimu itu terdapat ruang (space), kamu tetap bisa merasa leluasa" 

And I feel, there is space.
Deep inside of me..
I am free...
~ Plum village song: "Breathing in, breathing out" ~

Kehidupan sehari-hari adalah guru bagi kita. Banyak pelajaran bermanfaat yang dapat kita peroleh darinya..

Selamat belajar dan berpraktek. Semoga semua makhluk bebas leluasa...  

Jakarta, Feb 19, 2013. 



Wednesday, May 11, 2011

Apakah yang Sedang Terjadi?

Seperti halnya batu yang jatuh ke sungai menghasilkan riak,
kehadirannya tiba-tiba membuat hatiku bergejolak..

Apakah yang sedang terjadi?
Diri ini sedang mencoba mengamati,
sedang mencoba mengenali..
Yang kutau, ini salah satu bentuk emosi...

Talence, May 9, 2011..

Sunday, March 20, 2011

Untuk Temanku di Sana..

Ingin hati menyimpul tali yang terputus..
Namun, hal itu tidaklah sesederhana bayangan..
Begitu banyak pro dan kontra yang muncul..
Dan waktu ternyata tidak begitu banyak untukku menimbang..

Saat aku mengulurkan potongan tali ini,
ternyata ujung yang satu sudah jauh tertiup angin..
Mungkin memang belum saat yang tepat,
Bagi tali ini untuk disambung..

Aku jauh, bukan berarti aku memusuhimu..
Aku hanya tidak tahu, apa yang terbaik yang harus kulakukan..
Tali yang tidak tersambung juga bukan berarti kita adalah musuh.

Aku percaya, setiap manusia terhubung oleh alam semesta,
demikian juga kita, terhubung meski terpisah..

Teman, apa kabarmu?
Semoga kamu baik-baik saja di sana..
Selamat berjuang untuk meraih cita-citamu..

Semoga suatu hari kelak,
kita berkesempatan untuk saling menyapa kembali..
Tanpa kekhawatiran.. Tanpa kekesalan..
Bertemu sebagai teman lama yang baru..

Jaga dirimu baik-baik disana..
Semoga kamu berbahagia..